Senin, 05 Februari 2018

Dibalik Pedasnya Rasa Cabai

33 comments

Dibalik pedasnya rasa cabai. Pagi Minggu langit mendung seakan bertanda akan turun hujan. Aku seruput kopi hitam yang ku seduh dengan sedikit gula. Hem .... Alhamdulillah nikmatnya, hangat menjalari kerongkonganku. Ubi rebus baru saja aku angkat dari panci. Asapnya mengepul menggodaku untuk segera kulumat bersama kopi hangatku.

Kuhampiri meja yang berada disudut ruangan tidak jauh dari meja makan tempatku menikmati kopi pagi ini. "Hem, tidak ada kartu undangan apapun untukku hari ini, tumben," batinku.

Baca ini juga yuk! Terima kasih



Ku ambil sepatu kets berwarna pink, pink warna kesukaanku. Aku berharap hari ini cerah, aku ingin melihat kebun cabai yang berada tidak jauh dari komplek perumahan tempat aku tinggal. Kemarin sore aku lihat ramai orang di kebun cabai. Sedang apa mereka ya?

Kususuri gang sambil sesekali mendongak ke langit dengan harapan awan hitam menyibak dan matahari menampakkan cahayanya. Sesekali langkah kakiku kupercepat sambil melompat-lompat ringan. Tangan ku ayunkan secara beraturan kuhirup udara pagi dari hidung kemudian kuhembuskan perlahan dari mulut. Udara pagi segar memenuhi rongga dadaku hangat mulai menjalari tubuhku.

"Jalan pagi mbak?" Sapa tetanggaku saat berpapasan denganku, pak De orang sekitar memanggilnya. Kulihat ia sedang menjinjing kantong plastik berwarna hitam. Entah apa isinya jujur saja aku tidak ingin tahu. Senyum ramah menghias wajahnya dengan sederet kumis tipis yang tertata rapih.

"Ia pak De."

"Ini, pak Narto baru panen cabai." Ku lihat pak De mengakat kantong plastiknya menunjukkannya padaku. Aku bergeming pada posisiku tak ingin mendekat aku ingin segera melanjutkan langkahku.

"Oh, ya ...."

"Mari mbak ..."

"Mari pak De." Aku langsung berlalu.

Aku berlari-lari kecil sambil terus menghirup udara segar pagi ini. Ku lihat awan hitam mulai menyibak perlahan. Sesekali kicau burung terdengar menemani langkahku berjalan pagi Minggu ini.


Dibalik Pedasnya Rasa Cabai


"Mbak! Sini mampir!" Inan memanggilku.

"Eh iya, emang mau kesini kok Nan."

"Loh nggak biasanya mbak."

"Kemarin sore aku lihat ada banyak orang di sini, tapi sudah mau azan maghrib jadi aku nggak mampir Nan."

"Oh!! Kemarin kami mulai panen cabai mbak, mereka itu membantu kami."

"Oh gitu."

"Nanti mereka datang lagi mbak, belum selesai memetik cabainya."

"Wah tanam cabainya berhasil ya, sampai harus meminta bantuan untuk memetik cabainya."

"Bagi-bagi rezeki mbak, alhamdulillah."

"Ye jadi juragan cabai nih sekarang." Aku menggodanya.

"Aduh mbak, enaknya kalau bisa jadi juragan, kami ini orang kecil." Seorang lelaki dengan memakai kemeja berwarna coklat keluar dari dalam rumah dengan secangkir kopi ditangannya. Dia pak Narto suami dari Inan.

"Hehe, pak Narto senang merendah ya ..."

"Bukan begitu, kami ini mengurus kebun cabai orang mbak."

"Oh, ya ... " Aku tidak ingin bertanya milik siapa kebun cabai ini, lagian tak enak mengorek-ngoreknya. Mungkin saja pak Narto tidak ingin memberitahukan padaku siapa pemiliknya. Sesaat hening hanya kicau burung yang terdengar. Aku ingin melanjutkan jalan pagiku dan kembali pulang ke rumah saja.

"Minum kopinya ya mbak." Tiba-tiba Inan membawa dua cangkir kopi, satunya ia sodorkan padaku yang satu cangkir dia seruput sendiri. "Hem ..." Aku dengar Inan berdehem setelah meneguk kopinya.

"Wah kok jadi merepotkan ini, kopi dirumah tadi belum aku habiskan Nan."

"Kami senang, mbak mau datang ke gubuk kami dan ngobrol begini, ayolah minum kopi buatanku." Senyum Inan mengembang aku lihat rona bahagia dari wajahnya.

Penasaran sama kebun cabainya? Nah ini dia kebun cabainya ada suara burungnya silahkan diintip bagi yang kepo hehe ... bercanda



"Kebun cabai ini milik pak Gun, kami senang bisa mendapat kepercayaan ini mbak," kata pak Narto sambil berpindah tempat menuju tumpukan cabai yang ada disebelah kirinya. Tangannya dengan cekatan memisahkan cabai-cabai yang kurang bagus atau memilah yang bagaimana aku tidak tahu juga sebenarnya.

"Ya mbak, pak Gun yang punya tanahnya, menyediakan bibit cabainya, pupuk serta obat-obatan untuk merawat cabai ini," Inan melanjutkan kemudian.

Aku mendengarkan sambil menyeruput kopi hangat buatan Inan. Kopi buatan Inan terasa sedap ada aroma asap, mungkin Inan merebus airnya menggunakan kayu bakar. Meskipun ada aroma asapnya tetap terasa nikmat dan ingin menyesap habis kopi buatannya. Mungkin ketulusan Inan membuat kopi yang sangat manis ini menjadi begitu nikmat dilidahku. Ya, karena aku tidak terbiasa dengan kopi yang terlalu banyak gula saat menyeduhnya. Tapi, ini beda kopi buatan Inan menjadi istimewa pagi ini.

"Kami dipercaya menanam dan merawat cabainya," lanjut pak Narto.

"Setelah panen cabai kami keluarkan dulu modal yang sudah dikeluarkan oleh pak Gun, baru kemudian sisa dari hasilnya kami bagi dua begitu mbak," Inan tak kalah bersemangat melanjutkan kata-kata suaminya.

"Alhamdulillah panennya bagus dan harga juga lagi bagus mbak sekarang." Ku lihat sederet gigi putih bak mutiara saat Inan tertawa bertanda Inan sedang bahagia. "Kami bisa mengajak beberapa orang untuk membantu memetik cabai, ya hitung-hitung bagi-bagi rezekilah." Inan melanjutkan.

"Semoga panennya selalu bagus ya Nan dan juga harga cabainya juga bagus." Aku bangun dari duduku dan berpamitan pada mereka.

"Bentar mbak, ini bawa ya nyicip panen cabai kami." Inan menyodorkan kantong plastik berwarna biru padaku.

"Aduh Nan, aku jadi nggak enak nih."

"Udah sih mbak bawa ini, nggak boleh loh nolak rezeki hehe ... " Tawa Inan sangat ramah.

"Baiklah Nan terima kasih nih. Assallamuallaikum ..." Aku ambil kantong plastik dari tangan Inan dan beranjak meninggalkan tempat itu, aku khawatir mengganggu aktifitas mereka bila lebih lama lagi berada di situ.

"Waallaikumsallam, mbak kapan-kapan main kesini lagi ya ..."

Aku hanya menunjukkan ibu jariku sambil tersenyum sebagai respon dari undangannya itu.

~~~


Aku merasa mendapat banyak pelajaran pagi ini, dibalik pedasnya rasa cabai, yaitu :

1. Bagaimana seseorang itu menjalani hidupnya dengan rasa syukur.
2. Orang berpunya membantu orang yang membutuhkan.
3. Dan, orang yang bersyukur membagikan rezekinya dengan orang lain.

Semoga cerita sederhana ini ada manfaat yang bisa diambil, sekedar cerita ringan dalam kehidupan yang mungkin tidak pernah terduga oleh kita bahwa di balik pedasnya rasa cabai ada orang-orang yang berjuang untuk terus bertahan hidup tanpa melupakan untuk tetap bersyukur dan berbagi.

Aku jadi teringat dengan kalimat indah ini :

"Ada rezeki yang Allah titipkan pada kita maka bersyukurlah dan sampaikanlah dengan mengharap keridhaan-Nya."


kisah motivasi : Dibalik Pedasnya Rasa Cabai

If You Enjoyed This, Take 5 Seconds To Share It

33 komentar:

  1. Mari selalu bersyukur atas nikmat yang tak terhingga dari-Nya.

    Btw, mba Maya berbagi cabenya dong buat saya. Hehehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sip

      kalau berbagi cabe lewat email bisa nggak ya 😀

      Hapus
    2. makan cabe pedasnya nanti aja yah...mo magrib dulu, ntar balik lagi kesini.

      kalau inget

      Hapus
    3. semoga aja lupa mang lembu
      untuk datang kesini biar impas

      Hapus
    4. Bersyukur atas rezeki dan pekerjaan yang dilakoninya. Termasuk bersyukur menjadi seorang blogger.

      Hapus
    5. gimana bisa lupa wong sukanya udah dalem...jeh
      ntar tak buka lewat youtubenya langsung tuh video, biar bisa bongkar akunnya dan subkrib 2 kali

      Hapus
    6. sekalian share videonya ke G+ dan nggak lupa di cendolin ah


      #kangen KPK grup

      Hapus
  2. sekadar info, di malaysia, negeri2 di sebelah utara (pulau pinang, kedah dan perlis) juga memanggil cabai. tapi di negeri2 lain, kami memanggilnya cili, sama sebutan dengan english ;-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. oh gitu ada kesamaan ya beberapa kata di Malaysia dengan Indonesia
      terima kasih ya infonya

      Hapus
  3. Tanpa adanya orang orang yang terus bersyukur dan orang" punya yang terus berbagi, cabe bisa" tidak pedas lagi dalam arti bisa jadi tidak ada cabe karena kekeringan dan tidak bisa tumbuh :D mungkin gitu ya mba, hehe

    Maka mari kita tetap bersyukur dan berbagi supaya semuanya di rahmati :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya Mayuf
      yang pas-pasan aja berbagi, masa yang punya kelebihan tak ingin berbagi hehe

      Hapus
  4. wahhh....gara2 cabe dapat artikel baru dari sumber yang original, asyekkkkkk......

    Mbak suka ngopi hitam juga yach,,,,, enak ngk Mbak kalau pake gula aren ? saya blm pernah coba klu pakai gula aren, klu pakai garam pernah. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Kang Nata asyik

      Kopi hitam dengan gula aren enak dong, lebih enak dari gula putih
      garam? nggak lah takut ada efek sampingnya

      Hapus
  5. Bisnis Pedas yang berat di jalani, karena harus sewa lahan orang lain.

    walaupun begitu tetap berbagi rezeki dengan tersenyum.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nasib petani tidak semuanya semanis untungnya penjualan cabe hehe

      Hapus
  6. disetiap buah sayuran atau iakn yang dijual di pasar semoga selalu di iringi dengan rasa syukur ke pada Nya agar nikmat itu selalu bertambah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semakin bersyukur maka nikmat Allah semakin bertambah aamiin

      Hapus
  7. Hmmm... Kudu pinter2 bersyukur yaa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banget nih
      Aku masih Terus belajar nih

      Hapus
  8. Super nih tulisannya sudah pantas menulis buku terus diterbitkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tulisan di blog mas Agus malah super semua hehe

      Hapus
    2. diblogku banyak artikel content placement he..he...
      disini lebih unggul

      Hapus
    3. Ini blog gado gado mas untuk hiburan aja hehe terima kasih

      Hapus
    4. iya disini lebih unggul daripada blog saya.

      Hapus
    5. ini blog baru terlahir kembali, admin nya berusaha untuk tetap bertahan entahlah apa jadinya nanti

      Hapus
  9. Enak sekali ya dapat oleh-oleh cabe hanya karena obrolan ringan. Kalau dikampung saya, jadi petani cabe kadang keuntungannya mampu membeli mobil. tapi jika rugi, rumah dan halamanya bisa juga terjual.

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah rezeki cabe
      nah itu dia kalau rugi waduh bos rugi apalagi nasib penjaga kebunnya
      semoga tidak terjadi

      Hapus
  10. mayaaa.. jangan makan cabe banyak2 ya... entar jadi cabe2an loh..
    cabe2an jaman now... generasi terbaru^^

    BalasHapus
  11. Wah jarang nih mba ada perempuan minum kopi hitam dan satu lagi "kulumat" hahaha ngilu gitu bacanya hahaha.

    Walaupun gk ditanya, toh dikasih tau mba kalau yg punya kebun itu pak gun

    BalasHapus
  12. biyuh..
    cabe rasanya pedas, jangan banyak-banyak makan cabenya tar bisa sakit perut, mulas.

    BalasHapus
  13. Dibalik pedasnya rasa cabai...heemm!! Ada apa..??? 😱😱😳

    Tentunya ada senyum yang tulus serta keikhlas bagi yang merawat serta,memupuknya.

    Karena cabai hidangan meja makan rumah kita jadi berselera dan tidak hambar... Jadi yaa! semua harus kita syukuri. Pedasnya rasa cabai justru membuat hati kita terasa gurih. 😂😂

    BalasHapus
  14. Hemm, selalu bersyukur jangan sampai kufur

    BalasHapus
  15. duhhh...menjeletott syekali kalo dirasain...hhehe
    memang benar..masakan tanpa rasa pedas itu ada sedikit yang kurang, jadi memang patut disyukuri kita masih merasakan yang namanya cabai..hheheh

    BalasHapus

Terima kasih untuk kehadirannya di blog Maya salam hangat dan persahabatan selalu